PART 3: Kuliner Merakyat Tempoe Doloe


Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu Provinsi terkenal di Indonesia yang terletak di Pulau Jawa. Siapa sih, yang tidak tahu Jogja? Jadi, detail wilayahnya tidak perlu aku jelaskan ya. Kata orang-orang, sekalinya kalian singgah di Jogja, pasti akan ketagihan. Sebagai orang Jogja aku pernah bertanya pada ‘mereka,’ apa sih yang bikin betah sampai kangen. Jawabannya pun beragam.
Jadi mereka bilang begini, “Penduduknya ramah-ramah, bikin jatuh hati.”
“Wisatanya banyak dan beragam. Suka banget sama suasananya.”
“Murah banget. Jadi suka jalan – jalan dan jajan. Apalagi Malioboro sama Pasar Beringharjo. Aku hobi banget ke sana.”
“Aku suka banget beli minuman apa ya itu namanya. Yang ada jahenya. Trus makan nasi ukurannya mini banget. Lauknya sederhana tapi enak, bikin nagih. Biasanya kalau beli bisa sampai 4 bungkus. Aku lupa nama warungnya. Pokoknya kalau beli makan di sana. Tempatnya khas, pakai tenda tenda gitu. Cahaya lampunya biasanya warna kuning. Kan jadi menambah nilai romantisnya kota ini.”
Oke. Sekarang kita coba bahas apa yang dibicarakan oleh orang terakhir tadi. Tempatnya khas, pakai tenda, cahaya lampunya biasanya kuning. Mungkin kalian orang Jogja dan sekitarnya sudah bisa menebak ini dimana.
Katanya, ada seseorang yang bernama Mbah Pairo asal Klaten. Dahulu sekitar tahun 1900-an beliau menjajakan makanan kecil dan minuman dengan cara dipikul keliling kampung. “Hiiik... iyeek...” katanya sambil memukul gelas dengan sendok ketika berdagang. Dulu, orang – orang menyebutnya ting – ting hik.
Sekarang angkringan namanya. Kenapa angkringan? Karena kalau kalian kesana, kalian akan menemukan pelanggan, biasanya bapak - bapak yang nongkrong sambil duduk methangkring, menaikkan satu kaki di atas kursi. Nikmat sekali bukan melihatnya? Sebenarnya, angkringan ini tumbuh di kawasan Joglosemar (Jogja – Solo – Semarang). Di Jogja dan Semarang memang namanya angkringan. Di Solo sebutannya HIK, yang artinya Hidangan Istimewa Kampung.
Bila pada zaman Mbah Pairo dipikul, sekarang angkringan menetap di suatu tempat. Kalian bisa menemukannya di berbagai sudut kota. Bentuknya sederhana. Gerobak kaki lima yang beratapkan terpal atau kain lengkap dengan tungku dengan bara apinya yang menyala. Dulunya, untuk penerangan, para pemilik angkringan menggunakan lampu teplok. Lampu yang menyala dari sumbu yang dibakar, bahannya berupa minyak tanah. Lampunya kuning remang – remang romantis. Namun seiring berjalannya waktu, karena sudah berkembangnya zaman serta sulitnya mencari bahan bakar minyak tanah, angkringan mulai banyak yang menggunakan lampu bohlam.
Kalian juga akan selalu menemukan percakapan hangat di dalam angkringan antara para penikmat, begitu juga dengan penjual. Tidak memandang status. Mau tukang becak, pekerja kasar, pegawai negeri, mahasiswa, sampai pejabat, suasananya selalu bisa mencair dengan sendirinya. Bukankah menyenangkan bisa bersosialisasi seperti itu? Sederhana namun hangat.
Coba lihat, seorang pemuda sudah selesai makan kemudian bergegas melaporkan apa saja yang dimakannya supaya bisa dibayar, “Pak, sego kucing kalih. Tadi pakai sate usus dua, gorengan dua. Minumnya wedang uwuh.”
Sego kucing atau nasi kucing adalah nasi sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan lauk yang dibungkus dengan daun pisang atau kertas minyak. Lauknya bermacam – macam. Ada yang isinya sambal teri, oseng tempe, rica ayam, oseng kacang panjang dengan sambal, dan masih banyak lagi. Makan satu saja tidak cukup. Mungkin kalian butuh minimal dua bungkus. Selain karena porsinya kurang untuk mengisi perut, rasanya memang nagih sehingga selalu ingin ambil dan ambil lagi.
Sego kucing berarti nasi untuk kucing, maka porsinya kecil. Makanan tempo dulu yang merakyat ini muncul ketika masa krisis moneter. Dulu, untuk makan saja, rakyat bawah kurang mampu untuk membelinya.  Agar mereka tetap bisa makan, munculah nasi kucing ini. Biarpun sedikit, yang penting murah dan bisa mencegah kelaparan. Walaupun porsinya kecil, angkringan juga menyediakan berbagai macam lauk. Dari sate – satean, ceker, kepala ayam, jeroan, sampai gorengan. Camilan pun disini tersedia. Dijamin kenyang pokoknya!
Lalu kita akan membahas wedang uwuh. Jangan salah ya. Mentang – mentang namanya uwuh, kalian mengartikannya benar – benar minuman yang berasal dari sampah. Minuman ini hanya sebatas menyerupai, bukan benar – benar sampah. Disebut menyerupai sebab isinya berupa dedaunan  yang mirip dengan sampah. Isinya kurang lebih antara lain jahe, cengkih, pala, sereh, kayu secang, kayu manis, dan gula batu. Sudah bisa ditebak bahwa rasanya  pedas – pedas manis, berwarna merah, harum, dan disajikan dalam bentuk minuman hangat. Khasiatnya sudah dipastikan sangat beragam.
Minuman di angkringan sebenarnya tidak hanya wedang uwuh. Sudah pasti kalian bisa memesan minuman sachet, air putih, teh hangat/es, jeruk hangat/es, wedang jahe, dan kopi joss. Iya, kopi joss yang terkenal itu. Seduhan kopi dicelupkan arang yang masih panas dan masih menyala merah. Tentu saja, cita rasa yang dihasilkan pun jadi unik dan enak luar biasa bagi pecinta kopi.
Next, bisakah kalian menebak apa jawaban bapak angkringan setelah pemuda tadi laporan apa saja yang sudah dimakannya? “Nasi kucing satunya Rp2.500,00. Tambah sate satunya Rp1.000,00. Gorengan satuya Rp500,00. Tambah wedang uwuh Rp6.000,00. Total Rp14.000,00.” Bapak penjual menimpali.
Murah tenan, Pak.”
Jadi, kalian jangan lupa mampir ke angkringan ketika berkunjung ke Jogja ya. Tidak usah takut akan menghabiskan uang banyak ketika jajan di angkringan. Jangan khawatir juga bagi yang tidak berani keluar malam. Dulu memang angkringan hanya buka pada malam hari. Tapi sekarang kalian bisa menemukannya di siang hari juga. See ya!


Batam, 14 Oktober 2019

Komentar