Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah salah satu Provinsi terkenal di Indonesia yang
terletak di Pulau Jawa. Siapa sih, yang tidak tahu Jogja? Jadi, detail
wilayahnya tidak perlu aku jelaskan ya. Kata orang-orang, sekalinya kalian
singgah di Jogja, pasti akan ketagihan. Sebagai orang Jogja aku pernah bertanya
pada ‘mereka,’ apa sih yang bikin betah sampai kangen. Jawabannya pun beragam.
Jadi mereka bilang
begini, “Penduduknya ramah-ramah, bikin jatuh hati.”
“Wisatanya banyak
dan beragam. Suka banget sama suasananya.”
“Murah banget.
Jadi suka jalan – jalan dan jajan. Apalagi Malioboro sama Pasar Beringharjo.
Aku hobi banget ke sana.”
“Aku suka banget
beli minuman apa ya itu namanya. Yang ada jahenya. Trus makan nasi ukurannya
mini banget. Lauknya sederhana tapi enak, bikin nagih. Biasanya kalau beli bisa
sampai 4 bungkus. Aku lupa nama warungnya. Pokoknya kalau beli makan di sana.
Tempatnya khas, pakai tenda tenda gitu. Cahaya lampunya biasanya warna kuning.
Kan jadi menambah nilai romantisnya kota ini.”
Oke.
Sekarang kita coba bahas apa yang dibicarakan oleh orang terakhir tadi.
Tempatnya khas, pakai tenda, cahaya lampunya biasanya kuning. Mungkin kalian
orang Jogja dan sekitarnya sudah bisa menebak ini dimana.
Katanya,
ada seseorang yang bernama Mbah Pairo asal Klaten. Dahulu sekitar tahun 1900-an
beliau menjajakan makanan kecil dan minuman dengan cara dipikul keliling
kampung. “Hiiik... iyeek...” katanya
sambil memukul gelas dengan sendok ketika berdagang. Dulu, orang – orang
menyebutnya ting – ting hik.
Sekarang
angkringan namanya. Kenapa
angkringan? Karena kalau kalian kesana, kalian akan menemukan pelanggan, biasanya bapak -
bapak yang nongkrong sambil duduk methangkring,
menaikkan satu kaki di atas kursi. Nikmat sekali bukan melihatnya? Sebenarnya,
angkringan ini tumbuh di kawasan Joglosemar
(Jogja – Solo – Semarang). Di Jogja dan Semarang memang namanya
angkringan. Di Solo sebutannya HIK, yang artinya Hidangan Istimewa Kampung.
Bila
pada zaman Mbah Pairo dipikul, sekarang angkringan menetap di suatu tempat.
Kalian bisa menemukannya di berbagai sudut kota. Bentuknya sederhana. Gerobak kaki lima
yang beratapkan terpal atau kain lengkap dengan tungku dengan bara apinya yang menyala. Dulunya, untuk
penerangan, para pemilik angkringan menggunakan lampu teplok. Lampu yang
menyala dari sumbu yang dibakar, bahannya berupa minyak tanah. Lampunya kuning
remang – remang romantis. Namun seiring berjalannya waktu, karena sudah
berkembangnya zaman serta sulitnya mencari bahan bakar minyak tanah, angkringan
mulai banyak yang menggunakan lampu bohlam.
Kalian
juga akan selalu menemukan percakapan hangat di dalam angkringan antara para penikmat, begitu juga
dengan penjual. Tidak memandang status. Mau tukang becak, pekerja kasar,
pegawai negeri, mahasiswa, sampai pejabat, suasananya selalu bisa mencair dengan
sendirinya. Bukankah menyenangkan bisa bersosialisasi seperti itu? Sederhana
namun hangat.
Coba
lihat, seorang pemuda sudah selesai makan kemudian bergegas melaporkan apa saja
yang dimakannya supaya bisa dibayar, “Pak, sego
kucing kalih. Tadi pakai sate usus
dua, gorengan dua. Minumnya wedang uwuh.”
Sego kucing atau nasi kucing adalah nasi
sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan lauk yang dibungkus dengan daun
pisang atau kertas minyak. Lauknya bermacam – macam. Ada yang isinya sambal
teri, oseng tempe, rica ayam, oseng kacang panjang dengan sambal, dan masih
banyak lagi. Makan satu saja tidak cukup. Mungkin kalian butuh minimal dua
bungkus. Selain karena porsinya kurang untuk mengisi perut, rasanya memang
nagih sehingga selalu ingin ambil dan ambil lagi.
Sego kucing berarti nasi untuk kucing,
maka porsinya kecil. Makanan tempo dulu yang merakyat ini muncul ketika masa
krisis moneter. Dulu, untuk makan saja, rakyat bawah kurang mampu untuk
membelinya. Agar mereka tetap bisa makan,
munculah nasi kucing ini. Biarpun sedikit, yang penting murah dan bisa mencegah
kelaparan. Walaupun porsinya kecil, angkringan juga menyediakan berbagai macam
lauk. Dari sate – satean, ceker, kepala ayam, jeroan, sampai gorengan. Camilan
pun disini tersedia. Dijamin kenyang pokoknya!
Lalu
kita akan membahas wedang uwuh. Jangan salah ya. Mentang – mentang namanya uwuh, kalian mengartikannya benar –
benar minuman yang berasal dari sampah. Minuman ini hanya sebatas menyerupai,
bukan benar – benar sampah. Disebut menyerupai sebab isinya berupa
dedaunan yang mirip dengan sampah.
Isinya kurang lebih antara lain jahe, cengkih, pala, sereh, kayu secang, kayu
manis, dan gula batu. Sudah bisa ditebak bahwa rasanya pedas – pedas manis, berwarna merah, harum,
dan disajikan dalam bentuk minuman hangat. Khasiatnya sudah dipastikan sangat
beragam.
Minuman
di angkringan sebenarnya tidak hanya wedang uwuh. Sudah pasti kalian bisa
memesan minuman sachet, air putih, teh hangat/es, jeruk hangat/es, wedang jahe,
dan kopi joss. Iya, kopi joss yang terkenal itu. Seduhan kopi dicelupkan arang
yang masih panas dan masih menyala merah. Tentu saja, cita rasa yang dihasilkan
pun jadi unik dan enak luar biasa bagi pecinta kopi.
Next,
bisakah kalian menebak apa jawaban bapak angkringan setelah pemuda tadi laporan
apa saja yang sudah dimakannya? “Nasi kucing satunya Rp2.500,00. Tambah sate satunya
Rp1.000,00. Gorengan satuya Rp500,00. Tambah wedang uwuh Rp6.000,00. Total
Rp14.000,00.” Bapak penjual menimpali.
“Murah tenan, Pak.”
Jadi, kalian jangan lupa
mampir ke angkringan ketika berkunjung ke Jogja ya. Tidak usah takut akan
menghabiskan uang banyak ketika jajan di angkringan. Jangan khawatir juga bagi
yang tidak berani keluar malam. Dulu memang angkringan hanya buka pada malam
hari. Tapi sekarang kalian bisa menemukannya di siang hari juga. See ya!
Batam, 14 Oktober
2019
Komentar
Posting Komentar