AKU, WANITA ISTIMEWA


Waktu berputar ke belakang menuju 17 tahun yang lalu. Tepat tahun 2001. Sinar matahari masih saja mampu menembus sela-sela dedaunan sejak pagi hingga sore. Kuning-keorange-an, sebagai tanda sudah saatnya bunga pukul empat sore mekar.
Dua, tiga, empat. Empat balon baru saja terlepas dari genggaman seorang anak kecil yang kemudian diikuti tangisan kencang. Seorang wanita paruh baya di sampingnya mencoba menenangkan, menyodorkan sebuah permen lollipop berwarna pelangi. Mulut si anak tiba-tiba mengatup, tangisannya perlahan-lahan mereda, kemudian menghilang.
Wanita paruh baya itu ibunya? Oh, tidak. Ia adalah bibinya. Tepat saat anak itu menangis, terjadi kecelakaan kereta mematikan yang menewaskan sekitar 45 orang termasuk ibunya sendiri. Ayahnya? Ayahnya sedang berada dalam tugas negara, yang kemudian meninggal beberapa saat setelah terjadi kecelakaan kereta yang menimpa ibunya. Jadilah sekarang anak kecil malang itu sebatang kara.
Satu hal yang aneh di sini. Saat si anak menangis, burung-burung menghampiri, berkicau ikut menghibur. Jika dibayangkan, keadaannya bak burung-burung kesayangan Gusdur yang turut mengantar kepergian beliau tahun 2009.
Waktu berputar kembali seperti semula. Tahun 2018. Seorang gadis sedang berkaca di depan cermin, membenarkan ujung hijabnya yang menggantung. Tersenyum tipis beberapa detik, mengambil tas, kamera kesayangannya, dan melesat pergi. “Bibi, Abbiya berangkat.” Abbiya mencium tangan, mengecup pipi bibi kesayangannya. Bibi Damara tersenyum, membisikkan kata basmallah di telinga Abbiya, yang dibalas dengan senyum manis khas gadis itu.
Tiap sorenya, Abbiya selalu menyempatkan diri untuk mampir sebentar di danau favoritnya. Membeli satu cup teh atau cappucino, lalu berjalan-jalan mengitari danau. Suatu ketika seekor burung jatuh dari kawanannya. Seperti ada yang menembaknya dari jauh. Dua ekor burung lain keluar dari kawanan, terbang turun menyusul temannya yang jatuh. Burung yang jatuh tadi rupanya terluka sayapnya. Berjalan tertatih-tatih mencoba untuk bisa terbang lagi. Kedua burung menemaninya, membantu memapah, mendorong untuk dapat terbang lagi. Bahkan sempat burung yang terluka itu mengusir temannya untuk segera kembali ke kawanan. Tapi temannya memilih untuk tetap tinggal. Ada sekitar satu jam lebih mereka seperti itu, hingga akhirnya si burung mampu terbang tinggi lagi menyusul kawanannya. Sayapnya membentang lebar menghalau sinar matahari sore. Lagi-lagi sore ini menampakkan cantiknya seperti sore-sore Abbiya sebelumnya. Tapi pada sore itu, ia tidak tahu bahwa ada banyangan hitam mengikutinya dari belakang, yang siap membawanya untuk pergi jauh
Allah SWT memang maha membolak-balikkan hati. Seketika saja, yang biasanya Abbiya selalu dipenuhi aura positif, aura tersebut mulai menipis, tergantikan prasangka negatif yang kemudian sering  mampir dalam hatinya.
Senyum berbeda muncul pagi berikutnya dan seterusnya. Tidak seperti biasanya bagi Abbiya. Matanya sedikit sembab, tampak kerut di sekitarnya. Hatinya gundah. Bayangan hitam masih tampak di belakangnya, setia mengikuti. Bibi Damira sampai bertanya kenapa senyum Abbiya yang biasanya nampak, bisa sirna begitu saja seperti ditelan bumi. Tapi tanya Bibi Damira tidak terjawab. Padahal sebelumnya, Abbiya masih suka tersenyum manis. Senyum yang selalu mampu meluluhkan hati bibinya. Bibi tahu ada sesuatu yang tidak beres mengenai Abbiya.
“Bi, izinkan Abbiya pergi selama beberapa bulan.” Pagi berikutnya selepas sholat shubuh berjama’ah, satu kalimat itu keluar dari mulut Abbiya. Bibi Damira tahu bahwa keponakannya ini sudahlah dewasa. Tapi entah, sulit sekali untuk melepas Abbiya. Padahal ia juga tahu bahwa kini sudah saatnya Abbiya pergi, meraih citanya. Dengan berat hati, Bibi Damira menganggukkan kepala kemudian memeluk Abbiya dengan erat. Bibi Damira merasa tidak rela melepas Abbiya yang hatinya sedang terusik.
Abbiya sadar betapa sudah dewasanya ia sekarang. Dibalik rasa positifnya yang selalu ia tampakkan, selalu terjadi gejolak batin yang sebenarnya lebih berat. Entah sudah berapa tetes air mata yang sering Abbiya keluarkan ketika sedang sendiri. Ia selalu membenamkan dirinya dalam segala prasangka. Merasa dirinya tidak berguna, menyusahkan, tidak seperti teman-temannya yang pandai dalam segala pelajaran di sekolah. Setiap saat terus terjadi tekanan batin dalam dirinya. Ketika ia merasakan hal itu, Abbiya bersenandung. Entah bersholawat atau tilawah, mengulang hafalannya. Dan setiap saat itu, burung-burung selalu berdatangan, seperti ikut mendengarkan. Abbiya cukup terhibur dari situ.
Sehari kemudian Abbiya telah berada di dalam pesawat yang akan membawanya ke Perancis. Tangannya merogoh saku kemeja, mengambil earphone, kemudian memakainya. Abbiya hampir saja terlelap ketika seseorang di sampingnya menarik earphone dari telinganya. Abbiya menoleh kaget, berteriak dengan lantang, “Kak?!! Kenapa di sini????”
Wanita di sampingnya mengacungkan jari telunjuk di depan mulut Abbiya menandakan agar segera diam karena orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan mereka, kemudian berkata, “Sudah kuduga kamu akan pergi.” Abbiya masih saja bingung, namun wanita tersebut tetap meneruskan obrolannya, “Tidak usah menunjukkan ekspresi seperti itu. Aku juga ada urusan di Perancis. Itu saja.”
            Perjalanan Abbiya menjadi tidak terasa karena ada Kak Rosa, kakak kelasnya waktu SMA yang juga ikut bersamanya. Mereka berdua bisa dikatakan sangat dekat. Bahkan bisa disebut kakak beradik.
            Kak Rosa yang selalu tahu apa isi hati adiknya, meraih tangan Abbiya yang sedang terlelap, mengelusnya beberapa saat, “Adikku, tolong. Jangan suka menyiksa dirimu sendiri dengan segala praduga dan ilusimu yang tidak berguna itu. Bersiaplah untuk mengubah duniamu, karena kesempatan itu akan datang padamu sebentar lagi.”
            Beberapa hari mereka habiskan waktu untuk mencari rumah tinggal dan beres-beres. Hari-hari setelahnya, Abbiya selalu berjalan-jalan ke tempat-tempat baru. Kamera selalu menggantung di lehernya dan sebuah diary mini di tangan kanannya. Mengambil gambar-gambar menarik lalu menulis caption di bawah fotonya, sholawat, tilawah, bermain dengan anak-anak yang ia temui, menyapa dan tersenyum kepada orang-orang asing sekalipun, membuat hatinya kembali terisi dengan semangat baru.
Suatu ketika, sejenak ia berhenti di Jembatan Inception. Rasa rindu tiba-tiba menyelimuti seluruh isi hatinya. Ayah dan Ibunya. Matanya menerawang jauh ke bawah jembatan, melihat orang-orang yang berjalan lalu lalang.
            Tiba-tiba pandangannya menangkap sosok suami-isteri sedang berjalan bersama yang menoleh ke arah Abbiya, menyuruhnya untuk ikut bersama mereka. Rasa-rasanya ia mengenali siapa mereka berdua. Abbiya segera turun, mencari sepasang suami-isteri yang tadi mengajaknya. Tidak sengaja Abbiya meninggalkan buku diarynya. Buku itu jatuh begitu saja, banyak foto berceceran, kemudian terbang dibawa angin. Orang-orang memungut fotonya, kemudian tersenyum melihatnya.
            Abbiya tidak peduli dengan foto-fotonya yang berceceran. Ia hanya fokus terhadap satu tujuannya. Hingga akhirnya Abbiya menemukan mereka. Jarak yang semakin dekat, meyakinkan Abbiya bahwa ia mengenal kedua orang itu. “I, Ibu… A, A, Ayah….” Abbiya berlari kencang, seperti takut kehilangan mereka untuk kedua kalinya lalu memeluk erat kedua orang tuanya. Sungguh, air mata membanjiri wajah manisnya. Rindu itu seperti air yang dibendung terlalu lama, kemudian bendungan itu pecah begitu saja sehingga mengakibatkan rindu bertumpahan dimana-mana.
“Apa kabar, Ibu, Ayah?” Abbiya bertanya seraya terisak-isak. Ibu dan Ayahnya hanya tersenyum sambil menenangkan tuan puterinya. Setelah saling bertukar sapa, keluarga kecil yang baru bertemu lagi setelah belasan tahun lalu berpisah, berkumpul menjadi satu lagi, pergi ke tempat lain yang belum pernah dikunjungi Abbiya.
Kak Rosa mengambil buku milik Abbiya yang jatuh lalu mengumpulkan foto-foto yang berceceran. Berulang kali Kak Rosa mendengarkan rekaman suara Abbiya saat sedang terpuruk. Ketika Abbiya sedang bersholawat atau pun tilawah, suaranya terdengar sangat jernih bagaikan air mengalir di pedesaan, sangat merdu bagaikan ilalang tertiup angin sepoi-sepoi. Gambar foto yang diambil adik kesayangannya itu mampu membuat orang-orang tersenyum, seperti ada sesuatu yang positif selalu keluar dari foto-foto itu.
Yah, kini Abbiya telah pergi. Menyusul kedua orang tuanya. Hidupnya telah mampu mewarnai hari-hari Bibi Damira dan Kak Rosa. Bahkan tanpa sadar telah menjalar ke semua orang. Kak Rosa yang merasa sangat menghargai segala hasil karya adikknya yang sekaligus dapat menebar energi positif sampai kemana-mana, membukakan galeri fotografi untuk almarhumah Abbiya. Sebuah kalimat terakhir yang dituliskan oleh Abbiya dalam buku diarynya yang menjadi paragraf favorit pengunjung galeri Abbiya termasuk Kak Rosa sendiri adalah:
Aku. Wanita istimewa bagi diriku sendiri. Ya, setidaknya bisa jadi yang istimewa untuk diri sendiri dulu sebelum jadi yang istimewa bagi orang lain. Aku bukan Fatimah Az-Zahra. Tapi aku akan mencoba untuk meneladaninya. Aku juga bukan Hindun bin Utbah. Tapi aku akan mencoba untuk menjadi wanita tangguh sepertinya. Seperti namaku, Abbiya. Berkepribadian kuat.

Jembatan Inception, Paris
Sesaat sebelum bertemu Ayah dan Ibu

Komentar